The Popo : Ada Moral Dibalik Mural

Siapa yang tak pernah melihat tembo-tembok di sepanjang jalanan Ibu Kota dan sekitarnya tanpa coretan? Entah itu coretan berupa iklan produk, grafitti, mural dan sebagainya. Tembok-tembok kosong yang berdiri kokoh tersebut adalah ruang pameran sekaligus tempat berkomunikasi para seniman jalanan atau street artist.

Ryan Riyadi (33), adalah salah satu dari ratusan bahkan ribuan seniman jalanan di Ibu Kota. Sudah sekitar 13 tahun ia membuat gambar di tembok sebagai medianya.  Karya-karyanya berupa mural atau gambar di dinding sudah banyak yang terpampang jelas disetiap celah sudut Ibu Kota.

The Popo adalah sebuah karakter tokoh yang ada disetiap Ryan menggambar. Karakter ini dibuat sebagai tanda pengenal pengganti dirinya. Bentuk dari The Popo itu sendiri menyerupai tubuh manusia, dengan kepala yang lonjong, bola mata bulat yang melotot, tanpa hidung, dan sering tanpa rambut.

“Karena saya tidak bisa menggambar wajah manusia dengan bagus, jadi saya gambar sederhana saja seperti ini (sambil menggambar di sebuh meja). Kata orang sih The Popo mirip sama wajah saya,” ungkap Ryan saat ditemui SP belum lama ini.

Bentuk karakter yang sederhana ini membuat orang mudah menghafal bahwa gambar ini adalah karakter dari The Popo. Pada akhirnya, karakter ciptaannya tersebut lebih dikenal masyarakat ketimbang sosok pribadi Ryan sendiri. Itulah sebabnya, kini banyak orang yang memanggilnya dengan sebutan Popo.

Nama Popo sendiri berasal dari gabungan dua kata, Positive dan Progresif. Menurutnya kata ini adalah bagian dari doa kecil buat kehidupan dan karya-karyanya. Lagi-lagi nama yang mudah diingat san diucapkan ia buat agar banyak orang yang mengingatnya. “Salah satu strategi biar gampang diingat oleh semua kalangan,” ungkapnya.

Bukan hanya sembarang coretan atau gambar saja, gambar The Popo selalu hadir dengan konsep yang matang. Popo mengatakan bahwa, sebelum ia menggambar di tembok-tembok jalanan, ia selalu mengkonsepkan terlebih dahulu gambar apa dan isi moral apakah yang terkandung.  Hal ini yang membedakan Popo dengan seniman yang lain.

Biasanya seniman sekaligus dosen Komunikasi Visual di kampus almamaternya, sering mengungkapkan dan mengkritik sebuah isu sosial yang ada disekitar masyarakat. Meskipun agak nakal, tapi banyak juga pesan bermanfaat yang terkandung dalam karyanya. Ia selalu menghadirkan karya-karya visual di ruang masyarakat dengan konsep yang cerdas dan dibumbui unsur jenaka di dalamnya.

“Saya tidak sembarang gambar dan mencoret-coret tembok jalanan saja. Harus dan pasti ada konsep yang matang. Biasanya saya buat tentang isu sosial yang dekat dengan diri saya dan masyarakat, seperti kemacetan, bangunan liar, kritikan untuk para pemerintahan dan masih banyak lagi,” kata peraih The Best Mural Artist pada Tembok Bomber Award (2010).

Pria kelahiran Jakarta ini mengaku, hal tersebut yang membuat ia lebih suka menggambar di tembok jalanan dibandingkan tempat lainya. Kenapa? karena selain dapat dilihat orang banyak, karyanya juga dapat menjadi sarana berkomunikasi langsung dengan masyarakat.

“Ibarat orang yang sedang berbicara dan ingin didengar oleh lawan bicaranya, begitu juga saya. Saya menggambar dan ingin para masyarakat melihat dan mengetahui makna dari gambar tersebut,” jelasnya.

Tidak hanya dipinggir jalan, belum lama ini popo ikut serta dalam pameran Market Share yang diselenggarakan oleh Jerman Fest. Popo berkolaborasi dengan lima seniman asal Jerman lainya untuk memamerkan karya seni di tempat yang terbilang tabu untuk dijadikan ruang pameran, yaitu pasar tradisonal yang berlokasi di daerah Tebet, Jakarta Selatan.

"Tak hanya di tembok jalanan kita bisa berkomunikasi dengan masyarakat luas. Ternyata pasar pun juga dapat menjadi sarana berkomunikasi antara seniman dengan para penjual dan pembeli dalam menanggapi isu sosial di sekitar pasar," jelasnya.

Support Sang Ayah

Tak hanya mengkritisi para pejabat negara, Jakarta banjir dan kritik sosial lainnya dengan karakter jenaka ini. Pada tahun 2014 lalu, Popo membuat lima mural yang dipamerkan di Arte. Menurutnya karya tersebut merupakan karya yang sangat berarti dalam hidupnya. "Doa" satu kata yang sakral dan penuh makna tersebut ia pilih menjadi judul dari karyanya.

Kelima mural tersebut mempunyai makna tersendiri, mempunyainarti yang sangat dalam bagi dirinya dan orang yang melihatnya.  Bagaimana tidak? Ilustrasi berwarna hitam dan putih dalam satu mural berlatar warna merah itu menceritakan kehidupan masa kecil seorang anak bersama sang ayah yang selalu menjaga dan membimbingnya. The Popo mendedikasikan mural tersebut kepada almarhum ayahnya.

"Sebenarnya sejak kecil saya sering dimarahi ayah karena sering corat coret tembok rumah. Tapi dibalik semua itu, ternyata ia adalah orang yang selalu mendukung saya. Meskipun ia melarang, namun ia tetap membelikan spidol dan alat gambar untuk saya," 

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.